JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Para guru yang tergabung dalam Himpunan Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal (Himpaudi), gandeng Pakar Hukum dan Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, menggugat review UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Hal ini dilakukan dikarenakan selama ini sebagai pengajar, mereka hanya dibayar paling tinggi senilai Rp300 ribu perbulan.
Kuasa hukum Himpaudi Yusril Ihza Mahendra mengatakan, ada beberapa dasar undang-undang yang membuat kami mengajukan uji materi ke MK. “Dasar tersebut antara lain, Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Sisdiknas, pasal 28 ayat 3 dan 4 Undang-Undang Sisdiknas,” kata Yusril di kantor gedung Tower 88, Kota Kasablanka, Jakarta, Selasa (18/12). Menurut Yusril, dalam undang-undang tersebut menyebutkan ada guru PAUD formal dan non formal. Kita mau uji tentang kesetaraan, keadilan dan tentang kepastian hukum. Sebab pendidikan PAUD itu ada yang formal dan non formal,” katanya.
Meskipun selama ini telah sama-sama diakui sebagai pendidik oleh Undang-Undang Sisdiknas, namun ternyata yang diakui sebagai guru oleh Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen hanya pendidik PAUD formal saja. Sedangkan pendidik PAUD non formal tidak diakui sebagai guru. Hal ini diketahui dari defisini Guru pada pasal 1 angka 1, Undang-Undang Guru dan Dosen,” ungkapnya.
Hal itu mengakibatkan, hak-hak pendidik PAUD non formal jadi terabaikan. Proses ini memang tidak membatalkan undang-undang. Namun pengertian guru harus mencakup pendidikan PAUD formal dan PAUD non formal.
“Ketika diakui sebagai guru, pasal tadi tidak menyebutkan guru non formal sebagai seorang guru yang masuk dalam definisi pada pasal itu,” ujarnya.
Kenyataan ini lanjutnya, membuat ratusan ribu guru PAUD non formal tidak mendapatkan hak yang sesuai dengan amanat undang-undang. Diantaranya memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum, jaminan kesejahteraan sosial dan tidak pernah memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik serta kompetensi.
“Kita enggak mau ada diskriminasi, antara guru PAUD formal dan non formal. Kita enggak mau ada ketidakadilan,” kata Yusril.
Sementara itu, Andi Rosadi (37) guru PAUD mengatakan, selama 11 tahun ia mengajar, setiap bulannya ia hanya menerima bayaran Rp 300 ribu. Uang itu didapat dari swadaya para orangtua siswa yang memberikan secara sukarela. “Kalau nggak ada orangtua siswa yang swadaya mengumpulkan uang, ya nggak dibayar. Itu yang juga terjadi di seluruh wilayah di Kepulauan Seribu,” ujarnya.
Tak hanya Andi, Nisa pun mengatakan, ia sendiri selama ini memiliki ijazah S1 dari kuliahnya di jurusan pendidikan. Namun, dari hasil kuliahnya selama ini, ia menilai tak mendapat timbal balik yang memuaskan dari pendidikan yang dijalani selama ini. “Karena untuk guru PAUD sendiri masih belum mendapat perhatian dari pemerintah,” ungkapnya.
Ketua Himpaudi DKI, Yufi Natakusumah, menambahkan bahwa langkah yang dilakukan pihaknya karena di UU No. 20 tahun 2003 terdapat perbedaan. Mengingat para pengajar seperti dirinya dikelompokkan di Paud nonformal yang selama ini mengajar di kelompok bermain, dan taman penitipan anak.
“Kami tidak diakui sebagai guru, padahal kami dibebankan untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, dan melatih,” paparnya.
Ketua umum Himpaudi, Netti Herawati mengatakan bahwa gugatan baru saja diterima oleh MK dan itu mewakili sekitar anggota 400 ribu guru dan kepala sekolah PAUD. Selama ini, PAUD formal mendapatkan tunjangan sertifikasi, dapat menjadi PNS, mendapatkan fasilitas peningkatan kompetensi pembelajaran. Sedangkan non formal terbatas dan tidak menerima.
“Ketika kewajiban seorang guru dibebankan sama antara formal dan non formal, lalu kenapa dalam haknya, yang diterima berbeda. Inilah inti dari gugatan kami sebenarnya,” pungkas Netti. (grd)