GSBI Desak Pemerintah Batalkan Perpanjangan Kontrak JICT -TPK Koja

115

JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Pemerintah Indonesia dinilai telah membiarkan kedaulatan bangsa dan rakyat Indonesia terus dirampas asing dengan program privatisasi yang dikontrol oleh kapitalis asing yang merugikan pekerja serta seluruh rakyat Indonesia.

Sikap pembiaran tersebut adalah tidak membatalkan perpanjangan kontrak pelabuhan nasional strategis yakni Jakarta International Container Terminal (JICT) di Tanjung Priok dan Terminal Peti Kemas (TPK) Koja antara perusahaan BUMN Pelayaran Indonesia II (Pelindo II) dengan perusahaan besar asing yakni Hutchinson Port Holdings (HPH) yang berbasis di Hongkong dengan masa 2015 – 2039. Perpanjangan kontrak yang dilakukan Dirut Pelindo II saat itu, RJ Lino, pada Juni 2015 dengan mengantongi ijin prinsip Menteri BUMN Rini Soemarno, dan ditandatangani pada 7 Juli 2015, di saat kontrak Pertama belum selesai dengan masa tahun 1999 sampai 2019.

Selain itu, perusahaan telah melakukan PHK massal pada periode kontrak II dengan tidak menjadikan status pekerja tetap (PKWTT) bagi pekerja JICT dan bahkan mengalihkan mereka ke perusahaan outsourcing sebagai pekerja kontrak. Padahal, pekerjaan pekerja ini adalah bagian pekerjaan utama yang menentukan diantaranya operator RTGC (rubber tyred gantry crane). Di dalam UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) menyatakan pekerjaan utama yang menentukan tersebut tidak dapat di-outsourcing-kan.

Baca Juga :   LRT Menjadi Pilihan, Jika Memperhatikan Tiga Hal Ini

Kemudian, para pekerja khususnya anggota Serikat Pekerja JICT mengalami tekanan, intimidasi, dan stigmatisasi negatif dari pimpinan perusahaan JICT. Seperti yang diberitakan di media online 17 Desember 2018, pimpinan perusahaan PT JICT menuduh aksi massa dan kampanye SP JICT yang menolak penguasaan asing atas JICT dan membela buruh yang di-PHK sebagai tindakan bermuatan kepentingan personal.

Privatisasi BUMN oleh korporasi besar asing, salahsatunya JICT, yang dilakukan tahun 1999 adalah implementasi Letter of Intent (LoI) Dana Moneter Internasional (IMF) dengan Pemerintah Indonesia di bawah rejim Soeharto yang ditandatangani pada akhir 1997. Pada saat krisis ekonomi tersebut, pemerintah dituding telah melakukan perjanjian dengan imperialis Amerika Serikat (AS) yang diwakili IMF untuk menjalankan skema neo-liberalisme kapitalis besar monopoli internasional yakni deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi.

Perjanjian tersebut menjadikan makin intensifnya dikeluarkan kebijakan dan aturan-perundangan yang terbuka bagi kontrol dan dominasi asing terhadap kekayaan alam, aset publik atau aset yang menguasai hajat hidup rakyat, politik upah murah, dan pengekangan atas hak politik yakni kebebasan berpendapat, berorganisasi, dan berekspresi. Hal tersebut yang menjadikan makin buruknya penghidupan rakyat dengan adanya kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat (sembako, listrik, air, BBM) semakin menjulang, intensifnya perampasan tanah bagi perkebunan besar, semakin terampasnya upah buruh melalui kebijakan upah murah dan fleksibilitas ketenagakerjaan (sistem kontrak pendek, outsourcing, dan tanpa jaminan), komersialisasi pendidikan dan kesehatan.

Baca Juga :   KUR Penyelamat UMKM di Masa Pandemi

Kebijakan pemerintah yang tidak membatalkan perpanjangan kontrak (kontrak II) JICT dengan melibatkan kontrol Hutchison Port Holdings merupakan bentuk dukungan pemerintah atas pelaksanaan skema neo-liberalisme imperialis. Pemerintah secara langsung membiarkan korporasi raksasa (secara bertahap atau cepat) mengambil alih kontrol atas pembangunan negeri ini melalui program privatisasi yang sangat merugikan rakyat. Hal itu juga tercermin pada Paket Kebijakan Ekonomi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) yang dikeluarkan September 2015 sampai melahirkan jilid ke-16 pada 2017. Pemerintah terus memaksa pekerja meningkatkan produktivitasnya untuk menutupi pelipatgandaan penghisapan bagi peningkatan laba atau profit bagi korporasi besar.

Atas dasar keadaan tersebut maka kami Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) menyatakan sikap:
1. Pemerintahan pusat harus segera membatalkan perpanjangan kontrak JICT-TPK Koja yang dilakukan Pelindo II dengan Hutchison Port Holdings periode tahun 2015 sampai 2039 yang hakekatnya adalah korup dan menggadaikan kedaulatan bangsa serta merugikan seluruh rakyat Indonesia.
2. Mengecam dan hentikan segala bentuk tekanan, intimidasi, dan stigmatisasi pimpinan PT JICT terhadap perjuangan seluruh buruh JICT-TPK Koja! Berikan hak berunding bagi pekerja dan penuhi tuntutan demokratis buruh!
3. Mendukung seluruh perjuangan buruh khususnya yang dilakukan SP JICT dalam menolak penguasaan asing atas JICT dan pemberlakukan outsourcing bagi pekerja JICT-TPK Koja dan PHK massal yang telah melanggar ketentuan UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan!
4. Cabut seluruh kebijakan dan aturan-perundangan pemerintah pusat yang melanggengkan deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi bagi kepentingan korporasi besar khususnya asing yang telah merampas kedaulatan bangsa, merampas upah, dan hak demokratis pekerja JICT-TPK Koja.

Baca Juga :   Dua Ruko di Pasar Lawang Saketeng Bogor Terbakar

“Kami juga menyerukan agar seluruh buruh Indonesia memberikan dukungan kepada perjuangan buruh JICT-Koja yang memperjuangkan hak-hak demokratisnya,” ujar Ketua Umum GSBI, Rudi HB Daman dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (19/12). (grd)